Sabtu, 24 Maret 2012

Hubungan Akhlaq dengan syari’ah


  
Sebagai bentuk perwujudan iman (Aqidah Tauhid), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan sebelumnya, akhlaq adalah bentuk ibadah dalam rangka taqarub kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus dilakukan sesuai dengan aturan mekanisme yang ditetapkan syari’ah, agar bernilai sebagai amal sholeh. Syari’ah merupakan aturan mekanisme dalam amal ibadah seorang mu’min/muslim dalam rangka taqarub kepada Allah swt. Firman Allah swt.
“ Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Qs. Asy-syuura :13)

Melalui proses syari’ah akan menghubungkan proses ibadah kita kepada Allah. Suatu amal diluar aturan mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal sholeh. Demikian pula akhlaq sebagai bentuk ahwaliyah akan menjadi sia-sia jika tidak berada didalam kerangka aturan syari’ah. Jadi, syari’ah adalah syarat yang akan menentukan bernilai tidaknya suatu amal ibadah.
Syari’at menjadi standart dan ukuran yang menentukan apakah suatu amal perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syari’ah merupakan aturan dan rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan.. ketentuan hukum syari’at pada asasnya berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib, sunnah/mandub, mubah, makruh dan haram. Syari’ah memberi batasan-batasan terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan yang benar tentang benar dan salahnyasuatu aal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syari’at. Perilaku akhlaq (ahwal) tanpa kerangka aturan syariah tidak akan sampai pada tujuan pengabdian. Karena apa yang dilakukan berada diluar sarana dan mekanisme ibadah itu sendiri.
Syari’at menjadi bingkai dari praktek akhlaq, atau aturan yang membatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq tidak boleh melebihi apalagi mengatasi syari’ah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq yang tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syari’at adalah perbuatan bathal. Jadi, kedudukan akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang. Syari’at sebagai aturan dan mekanisme ibadah harus lebih diutamakan dari praktik akhlaq. Namun, ini bukan  berarti akhlaq dapat kesampingkan (nomor dua kan), karena seseorang yang melaksanakan syari’at tanpa disertai dengan akhlaq yang baik tidak akan sampai pada satu derajat kesempurnaan dalam amal ibadahnya. Dengan demikian, syari’ah berungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang kepada kesempurnaan akhlaq. Sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang bisa menghantarkan seseorang menuju tercpainya kesempurnaan keyakinan.

Terkadang orang tidak membedakan antara ketetapan syari’ah dan akhlaq atau menganggap keduanya sama, sehingga antara praktek akhlaq dan praktek syari’ah seringkali terjadi tumpang tindih. Atau bisa terjadi seseorang lebih mengutamakan melaksnakan akhlaq hasanah daripada ketentuan syari’ah. Atau sebaliknya, menjalankan perintah syari’ah teapi tidak disertai dengan akhlaq, karena menganggap akhlaq bukan sesuatu yang penting, atau walaupun penting hal itu tergantung pada pilihan seseorang  dengan bebas.
Sedangkan dalam islam antara syari’ah dan akhlaq adalah dua hal sangat terkait erat, dimana yang satu (syari’at) menjadi dasar bagi yang kedua (akhlaq).
Bisa terjadi suatu pelaksanaan kewajiban menjadi gugur nilainya karena tidak disertai dengan akhlaq. Seperti orang yang berinfaq di jalan Allah tetapi ketika dalam menyerahkan hartanya dilakukan sambil berkata-kata yang tidak baik, maka infaq orang tersebut disisi Allah tidak bernilai sedikitpun karena terhapus oleh akhlaqnya yang buruk. Meskipun dari segi aturan syari’at ia telah melakukan kewajibannya dengan benar, tetapi secra nilai, ia tidak diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah swt.
Tetapi bukan berarti setiap pelaksanaan syari’at yang tidak dilakukan dengan akhlaq yang baik akan menggugurkan nilai ibadah seseorang di sisi Allah. Sebagai contoh orang yang shalat tidak tepat waktu, tidak menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya mengurangi keutamaannya saja, atau bisa mengurangi kekhusyuan  orang yang dibelakang shafnya karena terganggu oleh gambar pada bajunya. Tetapi yang demikian tidak menggugurkan kewajiban shalatnya.
Selain itu antara syari’at dan akhlaq dapat dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar atau mereka tidak menjalankannya. Sanksi bagi pelanggar syari’at adalah sesuatu yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan ketetapan yang terdapat dalam syari’at itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan oleh lembaga yang berwenang (pemimpin Islam). Sedangkan bagi yang tidak melakukan akhlaq hasanah, tidak ada sanksi yang ditetapkan oleh syari’at... sanksi terhadap pelanggaran akhlaq tidak ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, tetapi sanksi ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau lingkungan sosial dan masyaraktnya. Misalnya yang menjalankan perintah puasa (shaum ramadhan) tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain, berbohong, tidak menjaga seluruh anggota badan diri dari perbutan keji, ia tetap tidak bisa dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi hal itu akan mengurangi (pahala) keutamaan dalam puasanya, disamping itu ia akan mendapatkan sanksi oleh dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya, seperti rasa penyesalan diri, cemoohan dari sesama, dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain.   

Hubungan Akhlaq dengan Aqidah



       
Pengertian akhlaq diatas jelas bahawa akhlaq tidak bisa dipisahkan dari aqidah. Hal ini karena akhlaq muncul dan lahir dari jiwa, sedangkan jiwa dibentuk oleh aqidah yang mengikatnya. Aqidah merupakan dasar fundamental dari seluruh aspek kehidupan. Aqidah menjadi pokok dan sentral dari keberadaan seseorang di muka bumi ini. Demikian pula setiap cara pandang dan segenap tingkah laku serta amal perbuatan yang lahir dari jiwa tersebut sangat ditentukan oleh aqidah yang mendasarinya.
Kehidupan dan tingkah laku (akhlaq) seseorang tidak akan keluar dari aqidahnya. Jika aqidah yang pengikat diri (jiwa) nya adalah syirik, maka sudah pasti akan melahirkan akhlaq yang syirik. Akhlak syirik ini akan nampak dan wujud dalam bentuk ahwaliyah yang dsar-dasarnya dibangun diatas nilai-nilai dan prinsip-prinsip syirik. Dan setia akhla syirik yang dijalankan oleh seseorang akan semakin memperkuat dan menyempurnakan sikap syirik (dan kufur) dalam jiwanya.
Sebaliknya demikian, jika aqidah yang mengikat jiwa seseorang adalah tauhid, maka akan lahir akhlaq tauhid. Akhlaq tauhid ini akan nampak dalam bentuk-bentuk ahwaliyah yang dibangun diatas nilai-nilai ddan prinsip-prinsip tauhid secara utuh (kaffah). Dan setiap akhlaq tauhid yang dijalankan oleh seseorang akan semakin memperkuat dan menyempurnakan keimanan (keyakinan) dalam jiwanya.
Aqidah tauhid akan mengimani Allah dalam seluruh eksistensinya, baik Rububiyah, Uluhiyah, Mulkiyah, secara utuh dan sempurna (kaffah)
Aqidah tauhid atau iman kepada Allah adalah dasar yang akan melahirkan akhlaq hasanah pada diri seseorang. Iman yang tidak melahirkan akhlaq adlah iman yang lemah, sedangkan akhlaq yang tidak dibangun dari dasar iman adalah perbuatan yang sia-sia. Firman Allah swt.

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (Qs.Yunus :36)

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Qs.An-Nur : 39)

 “Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang Telah kamu sangka kepada Tuhanmu, dia Telah membinasakan kamu, Maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs.Fushshilat : 22-23)

Jadi, berakhlaq tanpa landasan iman tidak termasuk sebagai amal sholeh atau amal yang bernilai. Dalam prakteknya bisa saja seseorang melakukan perbuatan-perbuatan akhlaq hasanah tanpa didasari iman (keyakinan), seperti juhud (sungguh-sungguh), berkorban, disiplin, menjaga silaturahmi dengan sesama, tetapi semua itu tidak mengakar kedalam diri dan akan mudah berubah. Karena semua perbuatan akhlaq itu lahir dari praduga atau angan-angan dan dilakukan dorongan-dorongan motivasi tertentu selain iman kepada Allah swt., apakah karena dorongan lingkuangan, riya atau kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.

Iman berfungsi membatasi dan mengendalikan serta mengarahkan akhlaq seseorang. Dengan dasar iman maka setiap ahwaliyah (akhlaq) dijalankan secara benar dan teratur (tidak liar). Karena ada aturan-aturan dan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam berakhlaq. Selain itu iman ini akan menjadi pengendali terhadap akhlaq seseorang, sehingga perbuatan akhlaqnya dapat berjalan diatas jalan yang benar dan selalu terarah pada satu tujuan yang benar dan jelas (pasti).
Jika akhlaq hasanah adalah perwujudan dari iman, maka akhlaq akan berkembang seiring dengan berkembangnya kafasitas dan tingkatan keimanan (keyakinan) dalam diri. Karena iman dalam diri memiliki kafasitas-kafasitas dan tingkatan-tingkatannya. Kafasitas iman ini dimulai dari yang paling dasar, yakni fitrah (atau iman nurul fitrah). Fitrah adalah potensi iman sebagai modal awal bagi kehidupan seseorang. Jika fitrah dipupuk dan dipelihara dengan baik maka ia akan berkembang menjadi iman yang hakiki. Jika fitrah baru berupa potensi iman sedangkan iman hakiki sudah mewujud secara konkrit. Iman yang hakiki terbentuk dari pertemuan  antara cahaya fitrah dalam diri dengan Al-Qur’an (risalah). Iman yang hakiki ini yang akan melandasi amal seseorang. Jika iman terus dipelihara dengan terus memenuhi kebutuhan dan tuntutan-tuntutannya sesuai dengan Din Islam serta memeliharanya dari faktor-faktor yang bisa melemahkannya, maka iman akan berkembang kafasitasnya menjadi iman bunyanul-Islam, yakni iman yang menjadi landasan dari bangunan Islam (jama’ah Islam), atau keimanan yang melandasi seseorang dalam kehidupan berjama’ah. Dan jika iman ini terus dipelihara dan dijaga, maka akan sampai pada tingkat kafasitas iman natijatul islam, yakni keimanan yang telah melahirkan hasil-hasil berupa buah keimanan yang telah elahirkan hasil-hasil berupa buah keislaman, seperti taqwa, tawakkal, shobar, ihsan.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa pertumbuhan akhlaq seseorang sangat tergantung pada kafasitas imannya. Pada kafasitas iman nurul fitrah akan elahirkan akglaq yang sesuai dengan fitrahnya. Kecenderungan itrah mendorong lahirnya akhlaq yang hanif. Dengan fitrahnya setiap manusia memiliki kecenderungan   terhadap al-haq (kebenaran). Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk menerima dan memberikan terhadap nilai-nilai dan bentuk-bentuk perbuatan (ahwaliyah) tertentu yang menurut fitrahnya cocok. Itulah sebabnya ada perbuatan-perbuatan yang dianggap baik dan bernilai oleh setiap manusia, sekalipun oleh orang ateis/skuler (syirik). Seperti perbuatan jujur, dermawa, berbuat baik kepada kedua orang tua, menepati janji, dll. Perbuatan-perbuatan tersebut dianggap baik bukan karena faktor-faktor lingkungan, kebiasaan atau kesepakatan dari masyarakat, tetapi ia dianggap baik menurut kecenderungan fitrah. Fitrah manusialah yang menilai bahwa perbuatan itu baik. Tidak ada seseorang yang menolak bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah baik, kecuali orang tersebut sudah tidak waras (gila). Meskipun perbautannya tersebut dibenci, dijauhi atau tidak dijalankan oleh anggota masyarakt, tetapi tidak merubahnya menjadi buruk. Perbuatan itu tetap akan dinilai baik oleh siapaun, dimanapun dan kapanpun, terlepas apakah perbuatan itu dijalankan atau ditinggalkan. Seperti sikap jujur, seseorang yang jujur akan dianggap terpuji (mulia) oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat musyrikin jahiliyah sekalipun. Muhammad bin abdillah (pra kenabian), padahal kebanyakan dari masyarakat memberi gelar al-amiin tersebut menjahui atau bahkan membenci sikap jujur tersebut.    
Namun demikian, meskipun iman fitrah dapat menilai dan membedakan antara ahwaliyah yang baik dan yang buruk, tetapi tidak mampu membedakan dan menilai mana yang benar dan yang salah. Selain itu, ukuran baik dan buruk menurut fitrah belumlah jelas dan tegas, karena belum ada ukuran (standart) kebenaran yang menjadi rujukan dalam menilai baik dan buruknya suatu perbuatan (ahwaliyah). Fitrah hanya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk tetapi tidak bisa menjelaskan dan membuktikan dimana letak baikdan buruknya. Karena fitrah baru merupakan kecenderungan terhadap al-haq (potensi iman). Fitrah baru akan berkembang menjadi iman yang hakiki jika bertemu (tersentuh) dengan Al-Qur’an. Pertemuan antara cahaya itrah dari cahaya Al-Qur’an ini disebut hidayah. Sedangkan Al-Qur’an (risalah) adalah farameter dan ukuran (standart) kebenaran atau al-haq yang bersifat mutlak yang bersumber dari Al-Alim (Allah swt0. Ketika fitrah tersentuh (bertemu) dengan Al-Qur’an maka seseorang akan semakin mampu menilai dan membedakan mana haq dan mana bathil (benar dan salah), baik dan buruk. Karena ukuran baik dan buruk, benar dan salah bukan hanya menurut fitrahnya, tetapi berdasarkan farameter dan ukuran Al-Qur’an.  Dengan dasar iman dan petunjuk (hidayah) Al-Qur’an mampu memilah dan memilih, membedakan dan menetapkan, mana ahwaliyah (akhlaq) yang haq dan mana ahwaliyah (akhlaq) yang bathil dengan benar, tegas dan jelas, sekaligus mampu menjauhi dan meninggalkan jenis-jenis perbuatan akhlaq yang buruk dan mampu menjalankan ahwaliyah (akhlaq) hasanah Al-Qur’an Al-Karim.
Dengan demikian akhlaq yang lahir bukan dari iman yang hakiki dan tidak terikat pada al-Qur’an  adalah akhlaq yang dilakukan dalam kesesatan. Sedangkan akhlaq hasanah yang lahir dari iman dan dijalankan didalam Al-qur’an  adalah akhlaq yang bisa menghantarkan seseorang kepada derajat kesempurnaan keyakinan. 

Jumat, 23 Maret 2012

Pengertian Akhlaq



a.      Pengertian Akhlaq menurut bahasa
Ialah bentuk jama’ dari akar kata khuluq. Pariasi kata khuluq atau akhlaq memiliki bentuk kata arti, yakni: budi pekerti, adat kebiasaan, moral (etika), sopan santun yang muncul dari tabiat, pembawaan, karakter dan agama dari seseorang atau sekelompok.
Dalam bahasa umum akhlaq sering diartikan dengan moral, etika, akhlaq, watak budi pekerti, tingkah laku, perangai, kesusilaan. Selain istilah etika dikenal katak etika. Etika yang dimaksud adalah moral, sedangkan etika adalah sopan santun. Sopan santun (etika) bersifat relatif dan hanya berlaku dalam pergaulan.
Akhlaq berarti suatu sistem nilai atau norma (aturan) yang menyangkut apakah suatu perbuatan boleh (bisa) dan harus dilakukan atau sebaliknya tidak dan jangan dilakukan. Pengertian akhlaq mencakup dari mulai sistem nilai dan aturan/norma hingga bentuk-bentuk praktis akhlaq itu sendiri. Apabila sistem nilai dan praktik akhlaq tersebut mengikat kedalam jiwa seseorang atau masyarakat maka ia bisa menjadi kepribadian, watak atau karakter.
 
b.  Pengertian Akhlaq menurut umum 
Akhlaq sering didefinisikan sebagai kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan tanpa pemikiran atau pemaksaan. Atau semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk.
Menurut imam Al-Ghazali kata “khuluq” dan “khalaq” adalah dua kata yang digunakan secara bersama. Yang dimaksud “khalaq” adalah lahiriyah, sedangkan “khuluq” adalah rupa bathiniyah. Khuluq adalah bentuk jiwa (nafs) yang terpatri yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika suatu bentuk jiwa memunculkan perbuatan indah dan terpuji berdasarkan aqal dan syari’at, maka hal itu dinamakan akhlaq hasanah (akhlaq yang baik). Jika dari jiwa tersebut muncul perbuatan-perbuatan buruk maka dinamakan akhlaq sayyi’ah (akhlaq yang buruk).

    c.  Pengertian Akhlaq dalam Al-Qur’an
   Kata khuluq menunjukan arti akhlaq disebutkan dalam Al-Qur’an terdapat dua ayat : Qs. Asyu’aaraa :26 dan Qs. Al-Qolam :4
“(agama kami) Ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. (Qs. Asyu’aaraa :26)
 “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Qs. Al-Qolam :4)

Kedua ayat tersebut menjelaskan dua bentuk akhlaq yang berbeda dan saling berlawanan, yakni akhlaq sayyi’ah dan akhlaq hasanah.
Ayat pertama (Qs.26:37) menjelaskan tentang alasan dan dasar penolakan orang-orang kafir terhadap da’wah Nabi Hud AS. Nabi Hud mengajak mereka kedalam Islam, namun seruan da’wah ini ditolak oleh mereka berdasarkan pertimbangan adat istiadat. Mereka mengatakan bahwa apa yang diserukan oleh Nabi Hud tidak lebih mulia dari khuluqul awwalin (akhlaq nenek moyang mereka). Bahwa agama mereka sudah menjadi adat istiadat sejak jaman dahulu (nenek moyang), sehingga memiliki dasar sejarah yang kuat, oleh karena itu ia mesti dipelihara (dilestarikan). Sedangkan apa yang diserukan oleh Nabi Hud adalah suatu yang baru dan bertentangan dengan adat kebiasaan nenek moyang mereka.
Yang dimaksud kata “khuluq” dalam ayat tersebut adalah adat, kebiasaan, norma, moral, etika, tabiat. Sedangkan “awwalin” berarti para pendahulu atau nenek moyang yang menjadi sumber dan dasar rujukan kebenaran dari adat kebiasaan (atau akhlaq). Jadi “khuluqul awwalin” yang dimaksud adalah sistem nilai dan pola tingkah-laku (akhlaq) yang dianggap benar oleh masyarakat kafir.
Sedangkan ayat (Qs.68:4) menjelaskan tentang perbedaan akhlaq Muhammad bin Abdillah sebelum dan setelah menerima wahyu. Ayat tersebut membantah anggapan dan tuduhan masyarakat musyrikin Mekkah bahwa dengan turunnya Al-Qur’an (risalah) kepribadian Muhammad menjadi buruk. Mereka menuduh Muhammad rasulullah sebagai majnun (gila), pengacau, perusak ketertiban. Dengan kata lain mereka menilai bahwa berakhlaq sesuai dengan akhalq Al-Qur’an adalah bentuk akhlaq yang buruk. Karena hal tersebut bertentangan dengan adat istiadat dan pola tingkah laku (akhlaq) umum yang berlaku dan dianut oleh masyarakat.  Sebaliknya Al-Qur’an menegaskan bahwa akhlaq Muhammad setelah turunnya  wahyu dan hidup dan hidup sesuai dengan Al-Qur’an adalah akhlaq paling mulia (“akhlaq adhimah”), sedangkan sebelumnya kondisi Muhammad dinyatakan oleh Allah (Al-Qur’an)  berada dalam keadaan “dholal” (sesat), meskipun oleh masyarakatnya pada waktu itu beliau digelari sebagai “al-Amin” (dapat dipercaya).
Dari kedua ayat tersebut dia atas, kata akhlaq (khuluq) mengandung arti sebuah sistem nilai dan tatanan/pola tingkah laku (etika, moral) yang dibangun diatas landasan dasar serta tujuan tertentu yang mengikat dan menjadi rujukan dalam perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat. 
 
d. Pengertian Akhlaq dalam Al-Hadits
Akhlaq hasanah merupakan penguat dan penyempurna iman (keyakinan). Tidak dpat dipisahkan antara iman dan penguatnya. Iman yang tidak diperkuat oleh akhlaq adalah iman yang lemah dan akan mudah rapuh (hancur). Jadi akhlaq adalah sesuatu yang bisa mendukung pertumbuhan dan perkembangan iman dalam jiwa.
Dalam hadits disebutkan, “Akhlaq yang baik adalah akhlaq Allah Yang Maha Agung” dan “Berakhlaq-lah kalian dengan Akhla Allah”. Yang dimaksud Akhlaq Allah adalah Akhla Al-Qur’an, atau dalam hadits lain dikatakan, “sesungguhnya Allah memiliki 99  akhlaq. Barang siapa berakhlaq dengan akhlaq dengannya, maka ia masuk syurga”. Demikian, seseorang yang ber akhlaq dengan akhlaq Allah berarti ia ber akhlaq dengan akhlaq Qur’an, dan orang-orang yang ber akhlaq dengan Al-Qur’an disebut enggan akhlaq adzimah (Qs.68:4)  seperti ketika seorang sahabat bertanya kepada ‘Aisyah tentang bagaimana akhlaq Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab “khuluquhu Al-Qur’an”
Dari keterangan hadits diatas akhlaq hasanah (akhlaq yang baik) adalah suatu ahwaliyah (perbuatan) yang muncul dari jiwa yang iman serta dibentuk oleh faktor eksternal, yakni Al-Qur’an (risalah)

 
e.  Kesimpulan tentang pengertian Akhlaq
Dari uraian pengertian tentang akhlaq jelas bahwa akhlaq memiliki kaitan erat dengan hakikat eksistensi manusia. Manusia diciptakan dengan memiliki status, tujuan, tugas dan tanggung jawab dari keberadaannya. Dan semua kehidupan didunia ini pada dasarnya adalah dalam rangka melaksanakan status, tujuan, tugas dan tanggungjawab  hidup tersebut. Dalam rangka menjalankan eksistensinya, manusia diberikan potensi jiwa berupa sam’a, abshor, af’idah. Jiwa ini diciptakan dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah konsep dasar penciptaan  manusia.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Qs. An-Nahl :78)

            “Maka hadapkan lah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. Ar-Rum:30)

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, “kullu mauludin yuuladu ‘ala alfitrah” artinya setiap anak dilahirkan dalam keadaan tauhid (mu’min). Tabi’at asli jiwa adalah fitrah (tauhid). Sedangkan di dalam jiwa manusia terdapat dua kekuatan yang satu sama lain saling bertarung dan berperang untuk menguasainya, yakni aqal dan hawa. Pertarungan aqal dan hawa dalam jiwa inilah yang akan menentukan akhlaq seseorang. Jika jiwa menjadi hamba dari hawa maka kecenderungan fitrahnya menjadi tertutup, dan akhlaq yang lahir dari jiwa yang didominasi hawa (atau fitrahnya tertutup) adalah akhlaq yang sesuai dengan dorongan-dorongan hawa tersebut. Sebaliknya, jika jiwa dikuasai oleh aqal maka bentuk jiwa seseorang akan baik, dan dari bentuk  jiwa yang baik ini akan melahirkan akhlaq yang baik.
Selain dipengaruhi oleh faktor internal (aqal dan hawa), jiwa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, berupa “abawahu” atau lingkungan tempat dimana ia hidup. Faktor eksternal ini bisa menjadi pendukung atau sebaliknya menjadi penghambat (penutup) pertumbuhan fitrah dalam jiwa. Interaksi antara jiwa (yang fitrah) dengan faktor-faktor eksternal ini pada akhirnya akan membentuk dan melahirkan cara pandang serta pada tingkah laku (akhlaq) seseorang.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa akhlaq adalah perwujudan seseorang dalam rangka memenuhi dan mewujudkan eksistensi kemanusiaannya. Atau dengan kalimat lain, pengertian akhlaq dapat dinyatakan sebagai : Perwujudan eksistensi manusia yang diproses dari fitrahnya melalui integrasi dengan faktor internal dan eksternal dirinya yang terefleksi dalam bentuk cara pandang (pola pikir) dan tingkah laku.