Sebagai bentuk perwujudan iman
(Aqidah Tauhid), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan syari’ah Islam.
Karena seperti dijelaskan sebelumnya, akhlaq adalah bentuk ibadah dalam rangka
taqarub kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus dilakukan sesuai dengan
aturan mekanisme yang ditetapkan syari’ah, agar bernilai sebagai amal sholeh.
Syari’ah merupakan aturan mekanisme dalam amal ibadah seorang mu’min/muslim
dalam rangka taqarub kepada Allah swt. Firman Allah swt.
“
Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).”
(Qs. Asy-syuura :13)
Melalui proses syari’ah akan
menghubungkan proses ibadah kita kepada Allah. Suatu amal diluar aturan
mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal sholeh. Demikian pula akhlaq
sebagai bentuk ahwaliyah akan menjadi sia-sia jika tidak berada didalam
kerangka aturan syari’ah. Jadi, syari’ah adalah syarat yang akan menentukan
bernilai tidaknya suatu amal ibadah.
Syari’at menjadi standart dan
ukuran yang menentukan apakah suatu amal perbuatan itu benar atau salah.
Ketentuan syari’ah merupakan aturan dan rambu-rambu yang berfungsi membatasi,
mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang mesti dijalankan dan yang mesti
ditinggalkan.. ketentuan hukum syari’at pada asasnya berisi tentang keharusan,
larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib,
sunnah/mandub, mubah, makruh dan haram. Syari’ah memberi batasan-batasan
terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan
yang benar tentang benar dan salahnyasuatu aal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak
boleh lepas dari batasan dan kendali syari’at. Perilaku akhlaq (ahwal) tanpa
kerangka aturan syariah tidak akan sampai pada tujuan pengabdian. Karena apa
yang dilakukan berada diluar sarana dan mekanisme ibadah itu sendiri.
Syari’at menjadi bingkai dari praktek
akhlaq, atau aturan yang membatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq
tidak boleh melebihi apalagi mengatasi syari’ah, tetapi akhlaq harus lahir
sebagai penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq
yang tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syari’at adalah perbuatan bathal.
Jadi, kedudukan akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah
seseorang. Syari’at sebagai aturan dan mekanisme ibadah harus lebih diutamakan
dari praktik akhlaq. Namun, ini bukan
berarti akhlaq dapat kesampingkan (nomor dua kan), karena seseorang yang
melaksanakan syari’at tanpa disertai dengan akhlaq yang baik tidak akan sampai
pada satu derajat kesempurnaan dalam amal ibadahnya. Dengan demikian, syari’ah
berungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang kepada kesempurnaan
akhlaq. Sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang bisa menghantarkan
seseorang menuju tercpainya kesempurnaan keyakinan.
Terkadang orang tidak membedakan
antara ketetapan syari’ah dan akhlaq atau menganggap keduanya sama, sehingga
antara praktek akhlaq dan praktek syari’ah seringkali terjadi tumpang tindih.
Atau bisa terjadi seseorang lebih mengutamakan melaksnakan akhlaq hasanah
daripada ketentuan syari’ah. Atau sebaliknya, menjalankan perintah syari’ah
teapi tidak disertai dengan akhlaq, karena menganggap akhlaq bukan sesuatu yang
penting, atau walaupun penting hal itu tergantung pada pilihan seseorang dengan bebas.
Sedangkan dalam islam antara syari’ah
dan akhlaq adalah dua hal sangat terkait erat, dimana yang satu (syari’at)
menjadi dasar bagi yang kedua (akhlaq).
Bisa
terjadi suatu pelaksanaan kewajiban menjadi gugur nilainya karena tidak
disertai dengan akhlaq. Seperti orang yang berinfaq di jalan Allah tetapi
ketika dalam menyerahkan hartanya dilakukan sambil berkata-kata yang tidak
baik, maka infaq orang tersebut disisi Allah tidak bernilai sedikitpun karena
terhapus oleh akhlaqnya yang buruk. Meskipun dari segi aturan syari’at ia telah
melakukan kewajibannya dengan benar, tetapi secra nilai, ia tidak diterima
sebagai amal ibadah di sisi Allah swt.
Tetapi bukan berarti setiap
pelaksanaan syari’at yang tidak dilakukan dengan akhlaq yang baik akan
menggugurkan nilai ibadah seseorang di sisi Allah. Sebagai contoh orang yang
shalat tidak tepat waktu, tidak menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya
mengurangi keutamaannya saja, atau bisa mengurangi kekhusyuan orang yang dibelakang shafnya karena
terganggu oleh gambar pada bajunya. Tetapi yang demikian tidak menggugurkan
kewajiban shalatnya.
Selain itu antara syari’at dan
akhlaq dapat dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada
pelanggar atau mereka tidak menjalankannya. Sanksi bagi pelanggar syari’at
adalah sesuatu yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan ketetapan yang
terdapat dalam syari’at itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan
oleh lembaga yang berwenang (pemimpin Islam). Sedangkan bagi yang tidak
melakukan akhlaq hasanah, tidak ada sanksi yang ditetapkan oleh syari’at...
sanksi terhadap pelanggaran akhlaq tidak ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang, tetapi sanksi ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau
lingkungan sosial dan masyaraktnya. Misalnya yang menjalankan perintah puasa
(shaum ramadhan) tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain, berbohong,
tidak menjaga seluruh anggota badan diri dari perbutan keji, ia tetap tidak
bisa dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi hal itu
akan mengurangi (pahala) keutamaan dalam puasanya, disamping itu ia akan
mendapatkan sanksi oleh dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya, seperti
rasa penyesalan diri, cemoohan dari sesama, dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain.