Sabtu, 24 Maret 2012

Hubungan Akhlaq dengan Aqidah



       
Pengertian akhlaq diatas jelas bahawa akhlaq tidak bisa dipisahkan dari aqidah. Hal ini karena akhlaq muncul dan lahir dari jiwa, sedangkan jiwa dibentuk oleh aqidah yang mengikatnya. Aqidah merupakan dasar fundamental dari seluruh aspek kehidupan. Aqidah menjadi pokok dan sentral dari keberadaan seseorang di muka bumi ini. Demikian pula setiap cara pandang dan segenap tingkah laku serta amal perbuatan yang lahir dari jiwa tersebut sangat ditentukan oleh aqidah yang mendasarinya.
Kehidupan dan tingkah laku (akhlaq) seseorang tidak akan keluar dari aqidahnya. Jika aqidah yang pengikat diri (jiwa) nya adalah syirik, maka sudah pasti akan melahirkan akhlaq yang syirik. Akhlak syirik ini akan nampak dan wujud dalam bentuk ahwaliyah yang dsar-dasarnya dibangun diatas nilai-nilai dan prinsip-prinsip syirik. Dan setia akhla syirik yang dijalankan oleh seseorang akan semakin memperkuat dan menyempurnakan sikap syirik (dan kufur) dalam jiwanya.
Sebaliknya demikian, jika aqidah yang mengikat jiwa seseorang adalah tauhid, maka akan lahir akhlaq tauhid. Akhlaq tauhid ini akan nampak dalam bentuk-bentuk ahwaliyah yang dibangun diatas nilai-nilai ddan prinsip-prinsip tauhid secara utuh (kaffah). Dan setiap akhlaq tauhid yang dijalankan oleh seseorang akan semakin memperkuat dan menyempurnakan keimanan (keyakinan) dalam jiwanya.
Aqidah tauhid akan mengimani Allah dalam seluruh eksistensinya, baik Rububiyah, Uluhiyah, Mulkiyah, secara utuh dan sempurna (kaffah)
Aqidah tauhid atau iman kepada Allah adalah dasar yang akan melahirkan akhlaq hasanah pada diri seseorang. Iman yang tidak melahirkan akhlaq adlah iman yang lemah, sedangkan akhlaq yang tidak dibangun dari dasar iman adalah perbuatan yang sia-sia. Firman Allah swt.

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (Qs.Yunus :36)

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Qs.An-Nur : 39)

 “Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang Telah kamu sangka kepada Tuhanmu, dia Telah membinasakan kamu, Maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs.Fushshilat : 22-23)

Jadi, berakhlaq tanpa landasan iman tidak termasuk sebagai amal sholeh atau amal yang bernilai. Dalam prakteknya bisa saja seseorang melakukan perbuatan-perbuatan akhlaq hasanah tanpa didasari iman (keyakinan), seperti juhud (sungguh-sungguh), berkorban, disiplin, menjaga silaturahmi dengan sesama, tetapi semua itu tidak mengakar kedalam diri dan akan mudah berubah. Karena semua perbuatan akhlaq itu lahir dari praduga atau angan-angan dan dilakukan dorongan-dorongan motivasi tertentu selain iman kepada Allah swt., apakah karena dorongan lingkuangan, riya atau kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.

Iman berfungsi membatasi dan mengendalikan serta mengarahkan akhlaq seseorang. Dengan dasar iman maka setiap ahwaliyah (akhlaq) dijalankan secara benar dan teratur (tidak liar). Karena ada aturan-aturan dan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam berakhlaq. Selain itu iman ini akan menjadi pengendali terhadap akhlaq seseorang, sehingga perbuatan akhlaqnya dapat berjalan diatas jalan yang benar dan selalu terarah pada satu tujuan yang benar dan jelas (pasti).
Jika akhlaq hasanah adalah perwujudan dari iman, maka akhlaq akan berkembang seiring dengan berkembangnya kafasitas dan tingkatan keimanan (keyakinan) dalam diri. Karena iman dalam diri memiliki kafasitas-kafasitas dan tingkatan-tingkatannya. Kafasitas iman ini dimulai dari yang paling dasar, yakni fitrah (atau iman nurul fitrah). Fitrah adalah potensi iman sebagai modal awal bagi kehidupan seseorang. Jika fitrah dipupuk dan dipelihara dengan baik maka ia akan berkembang menjadi iman yang hakiki. Jika fitrah baru berupa potensi iman sedangkan iman hakiki sudah mewujud secara konkrit. Iman yang hakiki terbentuk dari pertemuan  antara cahaya fitrah dalam diri dengan Al-Qur’an (risalah). Iman yang hakiki ini yang akan melandasi amal seseorang. Jika iman terus dipelihara dengan terus memenuhi kebutuhan dan tuntutan-tuntutannya sesuai dengan Din Islam serta memeliharanya dari faktor-faktor yang bisa melemahkannya, maka iman akan berkembang kafasitasnya menjadi iman bunyanul-Islam, yakni iman yang menjadi landasan dari bangunan Islam (jama’ah Islam), atau keimanan yang melandasi seseorang dalam kehidupan berjama’ah. Dan jika iman ini terus dipelihara dan dijaga, maka akan sampai pada tingkat kafasitas iman natijatul islam, yakni keimanan yang telah melahirkan hasil-hasil berupa buah keimanan yang telah elahirkan hasil-hasil berupa buah keislaman, seperti taqwa, tawakkal, shobar, ihsan.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa pertumbuhan akhlaq seseorang sangat tergantung pada kafasitas imannya. Pada kafasitas iman nurul fitrah akan elahirkan akglaq yang sesuai dengan fitrahnya. Kecenderungan itrah mendorong lahirnya akhlaq yang hanif. Dengan fitrahnya setiap manusia memiliki kecenderungan   terhadap al-haq (kebenaran). Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk menerima dan memberikan terhadap nilai-nilai dan bentuk-bentuk perbuatan (ahwaliyah) tertentu yang menurut fitrahnya cocok. Itulah sebabnya ada perbuatan-perbuatan yang dianggap baik dan bernilai oleh setiap manusia, sekalipun oleh orang ateis/skuler (syirik). Seperti perbuatan jujur, dermawa, berbuat baik kepada kedua orang tua, menepati janji, dll. Perbuatan-perbuatan tersebut dianggap baik bukan karena faktor-faktor lingkungan, kebiasaan atau kesepakatan dari masyarakat, tetapi ia dianggap baik menurut kecenderungan fitrah. Fitrah manusialah yang menilai bahwa perbuatan itu baik. Tidak ada seseorang yang menolak bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah baik, kecuali orang tersebut sudah tidak waras (gila). Meskipun perbautannya tersebut dibenci, dijauhi atau tidak dijalankan oleh anggota masyarakt, tetapi tidak merubahnya menjadi buruk. Perbuatan itu tetap akan dinilai baik oleh siapaun, dimanapun dan kapanpun, terlepas apakah perbuatan itu dijalankan atau ditinggalkan. Seperti sikap jujur, seseorang yang jujur akan dianggap terpuji (mulia) oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat musyrikin jahiliyah sekalipun. Muhammad bin abdillah (pra kenabian), padahal kebanyakan dari masyarakat memberi gelar al-amiin tersebut menjahui atau bahkan membenci sikap jujur tersebut.    
Namun demikian, meskipun iman fitrah dapat menilai dan membedakan antara ahwaliyah yang baik dan yang buruk, tetapi tidak mampu membedakan dan menilai mana yang benar dan yang salah. Selain itu, ukuran baik dan buruk menurut fitrah belumlah jelas dan tegas, karena belum ada ukuran (standart) kebenaran yang menjadi rujukan dalam menilai baik dan buruknya suatu perbuatan (ahwaliyah). Fitrah hanya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk tetapi tidak bisa menjelaskan dan membuktikan dimana letak baikdan buruknya. Karena fitrah baru merupakan kecenderungan terhadap al-haq (potensi iman). Fitrah baru akan berkembang menjadi iman yang hakiki jika bertemu (tersentuh) dengan Al-Qur’an. Pertemuan antara cahaya itrah dari cahaya Al-Qur’an ini disebut hidayah. Sedangkan Al-Qur’an (risalah) adalah farameter dan ukuran (standart) kebenaran atau al-haq yang bersifat mutlak yang bersumber dari Al-Alim (Allah swt0. Ketika fitrah tersentuh (bertemu) dengan Al-Qur’an maka seseorang akan semakin mampu menilai dan membedakan mana haq dan mana bathil (benar dan salah), baik dan buruk. Karena ukuran baik dan buruk, benar dan salah bukan hanya menurut fitrahnya, tetapi berdasarkan farameter dan ukuran Al-Qur’an.  Dengan dasar iman dan petunjuk (hidayah) Al-Qur’an mampu memilah dan memilih, membedakan dan menetapkan, mana ahwaliyah (akhlaq) yang haq dan mana ahwaliyah (akhlaq) yang bathil dengan benar, tegas dan jelas, sekaligus mampu menjauhi dan meninggalkan jenis-jenis perbuatan akhlaq yang buruk dan mampu menjalankan ahwaliyah (akhlaq) hasanah Al-Qur’an Al-Karim.
Dengan demikian akhlaq yang lahir bukan dari iman yang hakiki dan tidak terikat pada al-Qur’an  adalah akhlaq yang dilakukan dalam kesesatan. Sedangkan akhlaq hasanah yang lahir dari iman dan dijalankan didalam Al-qur’an  adalah akhlaq yang bisa menghantarkan seseorang kepada derajat kesempurnaan keyakinan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar