Pengertian akhlaq diatas jelas
bahawa akhlaq tidak bisa dipisahkan dari aqidah. Hal ini karena akhlaq muncul
dan lahir dari jiwa, sedangkan jiwa dibentuk oleh aqidah yang mengikatnya.
Aqidah merupakan dasar fundamental dari seluruh aspek kehidupan. Aqidah menjadi
pokok dan sentral dari keberadaan seseorang di muka bumi ini. Demikian pula
setiap cara pandang dan segenap tingkah laku serta amal perbuatan yang lahir
dari jiwa tersebut sangat ditentukan oleh aqidah yang mendasarinya.
Kehidupan dan tingkah laku (akhlaq)
seseorang tidak akan keluar dari aqidahnya. Jika aqidah yang pengikat diri
(jiwa) nya adalah syirik, maka sudah pasti akan melahirkan akhlaq yang syirik.
Akhlak syirik ini akan nampak dan wujud dalam bentuk ahwaliyah yang
dsar-dasarnya dibangun diatas nilai-nilai dan prinsip-prinsip syirik. Dan setia
akhla syirik yang dijalankan oleh seseorang akan semakin memperkuat dan
menyempurnakan sikap syirik (dan kufur) dalam jiwanya.
Sebaliknya demikian, jika aqidah
yang mengikat jiwa seseorang adalah tauhid, maka akan lahir akhlaq tauhid.
Akhlaq tauhid ini akan nampak dalam bentuk-bentuk ahwaliyah yang dibangun
diatas nilai-nilai ddan prinsip-prinsip tauhid secara utuh (kaffah). Dan setiap
akhlaq tauhid yang dijalankan oleh seseorang akan semakin memperkuat dan
menyempurnakan keimanan (keyakinan) dalam jiwanya.
Aqidah tauhid akan mengimani Allah
dalam seluruh eksistensinya, baik Rububiyah, Uluhiyah, Mulkiyah, secara utuh
dan sempurna (kaffah)
Aqidah
tauhid atau iman kepada Allah adalah dasar yang akan melahirkan akhlaq hasanah
pada diri seseorang. Iman yang tidak melahirkan akhlaq adlah iman yang lemah,
sedangkan akhlaq yang tidak dibangun dari dasar iman adalah perbuatan yang
sia-sia. Firman Allah swt.
“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (Qs.Yunus :36)
“Dan
orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Qs.An-Nur : 39)
“Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi
dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu
mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.
Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang Telah kamu sangka kepada Tuhanmu,
dia Telah membinasakan kamu, Maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.”
(Qs.Fushshilat : 22-23)
Jadi, berakhlaq tanpa
landasan iman tidak termasuk sebagai amal sholeh atau amal yang bernilai. Dalam
prakteknya bisa saja seseorang melakukan perbuatan-perbuatan akhlaq hasanah
tanpa didasari iman (keyakinan), seperti juhud (sungguh-sungguh), berkorban,
disiplin, menjaga silaturahmi dengan sesama, tetapi semua itu tidak mengakar
kedalam diri dan akan mudah berubah. Karena semua perbuatan akhlaq itu lahir
dari praduga atau angan-angan dan dilakukan dorongan-dorongan motivasi tertentu
selain iman kepada Allah swt., apakah karena dorongan lingkuangan, riya atau
kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.
Iman berfungsi membatasi dan
mengendalikan serta mengarahkan akhlaq seseorang. Dengan dasar iman maka setiap
ahwaliyah (akhlaq) dijalankan secara benar dan teratur (tidak liar). Karena ada
aturan-aturan dan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam berakhlaq. Selain
itu iman ini akan menjadi pengendali terhadap akhlaq seseorang, sehingga
perbuatan akhlaqnya dapat berjalan diatas jalan yang benar dan selalu terarah
pada satu tujuan yang benar dan jelas (pasti).
Jika
akhlaq hasanah adalah perwujudan dari iman, maka akhlaq akan berkembang seiring
dengan berkembangnya kafasitas dan tingkatan keimanan (keyakinan) dalam diri.
Karena iman dalam diri memiliki kafasitas-kafasitas dan tingkatan-tingkatannya.
Kafasitas iman ini dimulai dari yang paling dasar, yakni fitrah (atau iman
nurul fitrah). Fitrah adalah potensi iman sebagai modal awal bagi kehidupan
seseorang. Jika fitrah dipupuk dan dipelihara dengan baik maka ia akan
berkembang menjadi iman yang hakiki. Jika fitrah baru berupa potensi iman
sedangkan iman hakiki sudah mewujud secara konkrit. Iman yang hakiki terbentuk
dari pertemuan antara cahaya fitrah
dalam diri dengan Al-Qur’an (risalah). Iman yang hakiki ini yang akan melandasi
amal seseorang. Jika iman terus dipelihara dengan terus memenuhi kebutuhan dan
tuntutan-tuntutannya sesuai dengan Din Islam serta memeliharanya dari
faktor-faktor yang bisa melemahkannya, maka iman akan berkembang kafasitasnya
menjadi iman bunyanul-Islam, yakni iman yang menjadi landasan dari
bangunan Islam (jama’ah Islam), atau keimanan yang melandasi seseorang dalam
kehidupan berjama’ah. Dan jika iman ini terus dipelihara dan dijaga, maka akan
sampai pada tingkat kafasitas iman natijatul islam, yakni keimanan yang telah
melahirkan hasil-hasil berupa buah keimanan yang telah elahirkan hasil-hasil
berupa buah keislaman, seperti taqwa, tawakkal, shobar, ihsan.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa
pertumbuhan akhlaq seseorang sangat tergantung pada kafasitas imannya. Pada
kafasitas iman nurul fitrah akan elahirkan akglaq yang sesuai dengan fitrahnya.
Kecenderungan itrah mendorong lahirnya akhlaq yang hanif. Dengan fitrahnya
setiap manusia memiliki kecenderungan
terhadap al-haq
(kebenaran). Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk
menerima dan memberikan terhadap nilai-nilai dan bentuk-bentuk perbuatan (ahwaliyah)
tertentu yang menurut fitrahnya cocok. Itulah sebabnya ada perbuatan-perbuatan
yang dianggap baik dan bernilai oleh setiap manusia, sekalipun oleh orang
ateis/skuler (syirik). Seperti perbuatan jujur, dermawa, berbuat baik kepada
kedua orang tua, menepati janji, dll. Perbuatan-perbuatan tersebut dianggap
baik bukan karena faktor-faktor lingkungan, kebiasaan atau kesepakatan dari
masyarakat, tetapi ia dianggap baik menurut kecenderungan fitrah. Fitrah
manusialah yang menilai bahwa perbuatan itu baik. Tidak ada seseorang yang
menolak bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah baik, kecuali orang tersebut sudah
tidak waras (gila). Meskipun perbautannya tersebut dibenci, dijauhi atau tidak
dijalankan oleh anggota masyarakt, tetapi tidak merubahnya menjadi buruk.
Perbuatan itu tetap akan dinilai baik oleh siapaun, dimanapun dan kapanpun,
terlepas apakah perbuatan itu dijalankan atau ditinggalkan. Seperti sikap
jujur, seseorang yang jujur akan dianggap terpuji (mulia) oleh siapapun,
termasuk oleh masyarakat musyrikin jahiliyah sekalipun. Muhammad bin abdillah
(pra kenabian), padahal kebanyakan dari masyarakat memberi gelar al-amiin
tersebut menjahui atau bahkan membenci sikap jujur tersebut.
Namun demikian, meskipun iman
fitrah dapat menilai dan membedakan antara ahwaliyah yang baik dan yang buruk,
tetapi tidak mampu membedakan dan menilai mana yang benar dan yang salah.
Selain itu, ukuran baik dan buruk menurut fitrah belumlah jelas dan tegas,
karena belum ada ukuran (standart) kebenaran yang menjadi rujukan dalam menilai
baik dan buruknya suatu perbuatan (ahwaliyah). Fitrah hanya bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk tetapi tidak bisa menjelaskan dan
membuktikan dimana letak baikdan buruknya. Karena fitrah baru merupakan
kecenderungan terhadap al-haq (potensi iman). Fitrah baru akan berkembang
menjadi iman yang hakiki jika bertemu (tersentuh) dengan Al-Qur’an. Pertemuan
antara cahaya itrah dari cahaya Al-Qur’an ini disebut hidayah. Sedangkan Al-Qur’an
(risalah) adalah farameter dan ukuran (standart) kebenaran atau al-haq yang
bersifat mutlak yang bersumber dari Al-Alim (Allah swt0. Ketika fitrah
tersentuh (bertemu) dengan Al-Qur’an maka seseorang akan semakin mampu menilai
dan membedakan mana haq dan mana bathil (benar dan salah), baik dan buruk. Karena
ukuran baik dan buruk, benar dan salah bukan hanya menurut fitrahnya, tetapi berdasarkan
farameter dan ukuran Al-Qur’an. Dengan
dasar iman dan petunjuk (hidayah) Al-Qur’an mampu memilah dan memilih,
membedakan dan menetapkan, mana ahwaliyah (akhlaq) yang haq dan mana ahwaliyah
(akhlaq) yang bathil dengan benar, tegas dan jelas, sekaligus mampu menjauhi
dan meninggalkan jenis-jenis perbuatan akhlaq yang buruk dan mampu menjalankan
ahwaliyah (akhlaq) hasanah Al-Qur’an Al-Karim.
Dengan demikian akhlaq yang lahir
bukan dari iman yang hakiki dan tidak terikat pada al-Qur’an adalah akhlaq yang dilakukan dalam kesesatan.
Sedangkan akhlaq hasanah yang lahir dari iman dan dijalankan didalam Al-qur’an adalah akhlaq yang bisa menghantarkan
seseorang kepada derajat kesempurnaan keyakinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar