Sabtu, 24 Maret 2012

Hubungan Akhlaq dengan syari’ah


  
Sebagai bentuk perwujudan iman (Aqidah Tauhid), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan sebelumnya, akhlaq adalah bentuk ibadah dalam rangka taqarub kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus dilakukan sesuai dengan aturan mekanisme yang ditetapkan syari’ah, agar bernilai sebagai amal sholeh. Syari’ah merupakan aturan mekanisme dalam amal ibadah seorang mu’min/muslim dalam rangka taqarub kepada Allah swt. Firman Allah swt.
“ Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Qs. Asy-syuura :13)

Melalui proses syari’ah akan menghubungkan proses ibadah kita kepada Allah. Suatu amal diluar aturan mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal sholeh. Demikian pula akhlaq sebagai bentuk ahwaliyah akan menjadi sia-sia jika tidak berada didalam kerangka aturan syari’ah. Jadi, syari’ah adalah syarat yang akan menentukan bernilai tidaknya suatu amal ibadah.
Syari’at menjadi standart dan ukuran yang menentukan apakah suatu amal perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syari’ah merupakan aturan dan rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan.. ketentuan hukum syari’at pada asasnya berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib, sunnah/mandub, mubah, makruh dan haram. Syari’ah memberi batasan-batasan terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan yang benar tentang benar dan salahnyasuatu aal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syari’at. Perilaku akhlaq (ahwal) tanpa kerangka aturan syariah tidak akan sampai pada tujuan pengabdian. Karena apa yang dilakukan berada diluar sarana dan mekanisme ibadah itu sendiri.
Syari’at menjadi bingkai dari praktek akhlaq, atau aturan yang membatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq tidak boleh melebihi apalagi mengatasi syari’ah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq yang tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syari’at adalah perbuatan bathal. Jadi, kedudukan akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang. Syari’at sebagai aturan dan mekanisme ibadah harus lebih diutamakan dari praktik akhlaq. Namun, ini bukan  berarti akhlaq dapat kesampingkan (nomor dua kan), karena seseorang yang melaksanakan syari’at tanpa disertai dengan akhlaq yang baik tidak akan sampai pada satu derajat kesempurnaan dalam amal ibadahnya. Dengan demikian, syari’ah berungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang kepada kesempurnaan akhlaq. Sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang bisa menghantarkan seseorang menuju tercpainya kesempurnaan keyakinan.

Terkadang orang tidak membedakan antara ketetapan syari’ah dan akhlaq atau menganggap keduanya sama, sehingga antara praktek akhlaq dan praktek syari’ah seringkali terjadi tumpang tindih. Atau bisa terjadi seseorang lebih mengutamakan melaksnakan akhlaq hasanah daripada ketentuan syari’ah. Atau sebaliknya, menjalankan perintah syari’ah teapi tidak disertai dengan akhlaq, karena menganggap akhlaq bukan sesuatu yang penting, atau walaupun penting hal itu tergantung pada pilihan seseorang  dengan bebas.
Sedangkan dalam islam antara syari’ah dan akhlaq adalah dua hal sangat terkait erat, dimana yang satu (syari’at) menjadi dasar bagi yang kedua (akhlaq).
Bisa terjadi suatu pelaksanaan kewajiban menjadi gugur nilainya karena tidak disertai dengan akhlaq. Seperti orang yang berinfaq di jalan Allah tetapi ketika dalam menyerahkan hartanya dilakukan sambil berkata-kata yang tidak baik, maka infaq orang tersebut disisi Allah tidak bernilai sedikitpun karena terhapus oleh akhlaqnya yang buruk. Meskipun dari segi aturan syari’at ia telah melakukan kewajibannya dengan benar, tetapi secra nilai, ia tidak diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah swt.
Tetapi bukan berarti setiap pelaksanaan syari’at yang tidak dilakukan dengan akhlaq yang baik akan menggugurkan nilai ibadah seseorang di sisi Allah. Sebagai contoh orang yang shalat tidak tepat waktu, tidak menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya mengurangi keutamaannya saja, atau bisa mengurangi kekhusyuan  orang yang dibelakang shafnya karena terganggu oleh gambar pada bajunya. Tetapi yang demikian tidak menggugurkan kewajiban shalatnya.
Selain itu antara syari’at dan akhlaq dapat dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar atau mereka tidak menjalankannya. Sanksi bagi pelanggar syari’at adalah sesuatu yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan ketetapan yang terdapat dalam syari’at itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan oleh lembaga yang berwenang (pemimpin Islam). Sedangkan bagi yang tidak melakukan akhlaq hasanah, tidak ada sanksi yang ditetapkan oleh syari’at... sanksi terhadap pelanggaran akhlaq tidak ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, tetapi sanksi ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau lingkungan sosial dan masyaraktnya. Misalnya yang menjalankan perintah puasa (shaum ramadhan) tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain, berbohong, tidak menjaga seluruh anggota badan diri dari perbutan keji, ia tetap tidak bisa dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi hal itu akan mengurangi (pahala) keutamaan dalam puasanya, disamping itu ia akan mendapatkan sanksi oleh dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya, seperti rasa penyesalan diri, cemoohan dari sesama, dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar