a.
Pengertian
Akhlaq menurut bahasa
Ialah
bentuk jama’ dari akar kata khuluq. Pariasi kata khuluq atau akhlaq memiliki
bentuk kata arti, yakni: budi pekerti, adat kebiasaan, moral (etika), sopan
santun yang muncul dari tabiat, pembawaan, karakter dan agama dari seseorang
atau sekelompok.
Dalam
bahasa umum akhlaq sering diartikan dengan moral, etika, akhlaq, watak budi
pekerti, tingkah laku, perangai, kesusilaan. Selain istilah etika dikenal katak
etika. Etika yang dimaksud adalah moral, sedangkan etika adalah sopan santun.
Sopan santun (etika) bersifat relatif dan hanya berlaku dalam pergaulan.
Akhlaq
berarti suatu sistem nilai atau norma (aturan) yang menyangkut apakah suatu
perbuatan boleh (bisa) dan harus dilakukan atau sebaliknya tidak dan jangan
dilakukan. Pengertian akhlaq mencakup dari mulai sistem nilai dan aturan/norma
hingga bentuk-bentuk praktis akhlaq itu sendiri. Apabila sistem nilai dan
praktik akhlaq tersebut mengikat kedalam jiwa seseorang atau masyarakat maka ia
bisa menjadi kepribadian, watak atau karakter.
b. Pengertian
Akhlaq menurut umum
Akhlaq
sering didefinisikan sebagai kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan
secara spontan tanpa pemikiran atau pemaksaan. Atau semua perbuatan yang lahir
atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk.
Menurut
imam Al-Ghazali kata “khuluq” dan “khalaq” adalah dua kata yang
digunakan secara bersama. Yang dimaksud “khalaq” adalah lahiriyah,
sedangkan “khuluq” adalah rupa bathiniyah. Khuluq adalah bentuk jiwa (nafs)
yang terpatri yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika suatu bentuk jiwa memunculkan
perbuatan indah dan terpuji berdasarkan aqal dan syari’at, maka hal itu
dinamakan akhlaq hasanah (akhlaq yang baik). Jika dari jiwa tersebut muncul
perbuatan-perbuatan buruk maka dinamakan akhlaq sayyi’ah (akhlaq yang
buruk).
c. Pengertian Akhlaq dalam Al-Qur’an
Kata khuluq menunjukan arti akhlaq disebutkan dalam Al-Qur’an terdapat dua ayat : Qs. Asyu’aaraa :26 dan Qs. Al-Qolam :4
Kedua
ayat tersebut menjelaskan dua bentuk akhlaq yang berbeda dan saling berlawanan,
yakni akhlaq sayyi’ah dan akhlaq hasanah.
Ayat pertama (Qs.26:37) menjelaskan tentang alasan dan dasar penolakan orang-orang kafir terhadap da’wah Nabi Hud AS. Nabi Hud mengajak mereka kedalam Islam, namun seruan da’wah ini ditolak oleh mereka berdasarkan pertimbangan adat istiadat. Mereka mengatakan bahwa apa yang diserukan oleh Nabi Hud tidak lebih mulia dari khuluqul awwalin (akhlaq nenek moyang mereka). Bahwa agama mereka sudah menjadi adat istiadat sejak jaman dahulu (nenek moyang), sehingga memiliki dasar sejarah yang kuat, oleh karena itu ia mesti dipelihara (dilestarikan). Sedangkan apa yang diserukan oleh Nabi Hud adalah suatu yang baru dan bertentangan dengan adat kebiasaan nenek moyang mereka.
Yang dimaksud kata “khuluq” dalam ayat tersebut adalah adat, kebiasaan, norma, moral, etika, tabiat. Sedangkan “awwalin” berarti para pendahulu atau nenek moyang yang menjadi sumber dan dasar rujukan kebenaran dari adat kebiasaan (atau akhlaq). Jadi “khuluqul awwalin” yang dimaksud adalah sistem nilai dan pola tingkah-laku (akhlaq) yang dianggap benar oleh masyarakat kafir.
Sedangkan ayat (Qs.68:4) menjelaskan tentang perbedaan akhlaq Muhammad bin Abdillah sebelum dan setelah menerima wahyu. Ayat tersebut membantah anggapan dan tuduhan masyarakat musyrikin Mekkah bahwa dengan turunnya Al-Qur’an (risalah) kepribadian Muhammad menjadi buruk. Mereka menuduh Muhammad rasulullah sebagai majnun (gila), pengacau, perusak ketertiban. Dengan kata lain mereka menilai bahwa berakhlaq sesuai dengan akhalq Al-Qur’an adalah bentuk akhlaq yang buruk. Karena hal tersebut bertentangan dengan adat istiadat dan pola tingkah laku (akhlaq) umum yang berlaku dan dianut oleh masyarakat. Sebaliknya Al-Qur’an menegaskan bahwa akhlaq Muhammad setelah turunnya wahyu dan hidup dan hidup sesuai dengan Al-Qur’an adalah akhlaq paling mulia (“akhlaq adhimah”), sedangkan sebelumnya kondisi Muhammad dinyatakan oleh Allah (Al-Qur’an) berada dalam keadaan “dholal” (sesat), meskipun oleh masyarakatnya pada waktu itu beliau digelari sebagai “al-Amin” (dapat dipercaya).
Dari kedua ayat tersebut dia atas, kata akhlaq (khuluq) mengandung arti sebuah sistem nilai dan tatanan/pola tingkah laku (etika, moral) yang dibangun diatas landasan dasar serta tujuan tertentu yang mengikat dan menjadi rujukan dalam perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat.
c. Pengertian Akhlaq dalam Al-Qur’an
Kata khuluq menunjukan arti akhlaq disebutkan dalam Al-Qur’an terdapat dua ayat : Qs. Asyu’aaraa :26 dan Qs. Al-Qolam :4
“(agama
kami) Ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. (Qs. Asyu’aaraa :26)
“Dan Sesungguhnya
kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Qs. Al-Qolam :4)
Ayat pertama (Qs.26:37) menjelaskan tentang alasan dan dasar penolakan orang-orang kafir terhadap da’wah Nabi Hud AS. Nabi Hud mengajak mereka kedalam Islam, namun seruan da’wah ini ditolak oleh mereka berdasarkan pertimbangan adat istiadat. Mereka mengatakan bahwa apa yang diserukan oleh Nabi Hud tidak lebih mulia dari khuluqul awwalin (akhlaq nenek moyang mereka). Bahwa agama mereka sudah menjadi adat istiadat sejak jaman dahulu (nenek moyang), sehingga memiliki dasar sejarah yang kuat, oleh karena itu ia mesti dipelihara (dilestarikan). Sedangkan apa yang diserukan oleh Nabi Hud adalah suatu yang baru dan bertentangan dengan adat kebiasaan nenek moyang mereka.
Yang dimaksud kata “khuluq” dalam ayat tersebut adalah adat, kebiasaan, norma, moral, etika, tabiat. Sedangkan “awwalin” berarti para pendahulu atau nenek moyang yang menjadi sumber dan dasar rujukan kebenaran dari adat kebiasaan (atau akhlaq). Jadi “khuluqul awwalin” yang dimaksud adalah sistem nilai dan pola tingkah-laku (akhlaq) yang dianggap benar oleh masyarakat kafir.
Sedangkan ayat (Qs.68:4) menjelaskan tentang perbedaan akhlaq Muhammad bin Abdillah sebelum dan setelah menerima wahyu. Ayat tersebut membantah anggapan dan tuduhan masyarakat musyrikin Mekkah bahwa dengan turunnya Al-Qur’an (risalah) kepribadian Muhammad menjadi buruk. Mereka menuduh Muhammad rasulullah sebagai majnun (gila), pengacau, perusak ketertiban. Dengan kata lain mereka menilai bahwa berakhlaq sesuai dengan akhalq Al-Qur’an adalah bentuk akhlaq yang buruk. Karena hal tersebut bertentangan dengan adat istiadat dan pola tingkah laku (akhlaq) umum yang berlaku dan dianut oleh masyarakat. Sebaliknya Al-Qur’an menegaskan bahwa akhlaq Muhammad setelah turunnya wahyu dan hidup dan hidup sesuai dengan Al-Qur’an adalah akhlaq paling mulia (“akhlaq adhimah”), sedangkan sebelumnya kondisi Muhammad dinyatakan oleh Allah (Al-Qur’an) berada dalam keadaan “dholal” (sesat), meskipun oleh masyarakatnya pada waktu itu beliau digelari sebagai “al-Amin” (dapat dipercaya).
Dari kedua ayat tersebut dia atas, kata akhlaq (khuluq) mengandung arti sebuah sistem nilai dan tatanan/pola tingkah laku (etika, moral) yang dibangun diatas landasan dasar serta tujuan tertentu yang mengikat dan menjadi rujukan dalam perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat.
d. Pengertian
Akhlaq dalam Al-Hadits
Akhlaq
hasanah merupakan penguat dan penyempurna iman (keyakinan). Tidak dpat
dipisahkan antara iman dan penguatnya. Iman yang tidak diperkuat oleh akhlaq
adalah iman yang lemah dan akan mudah rapuh (hancur). Jadi akhlaq adalah
sesuatu yang bisa mendukung pertumbuhan dan perkembangan iman dalam jiwa.
Dalam
hadits disebutkan, “Akhlaq yang baik adalah akhlaq Allah Yang Maha Agung” dan “Berakhlaq-lah
kalian dengan Akhla Allah”. Yang dimaksud Akhlaq Allah adalah Akhla Al-Qur’an,
atau dalam hadits lain dikatakan, “sesungguhnya Allah memiliki 99 akhlaq. Barang siapa berakhlaq dengan akhlaq
dengannya, maka ia masuk syurga”. Demikian, seseorang yang ber akhlaq dengan
akhlaq Allah berarti ia ber akhlaq dengan akhlaq Qur’an, dan orang-orang yang
ber akhlaq dengan Al-Qur’an disebut enggan akhlaq adzimah (Qs.68:4) seperti ketika seorang sahabat bertanya
kepada ‘Aisyah tentang bagaimana akhlaq Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab “khuluquhu
Al-Qur’an”
Dari
keterangan hadits diatas akhlaq hasanah (akhlaq yang baik) adalah suatu
ahwaliyah (perbuatan) yang muncul dari jiwa yang iman serta dibentuk oleh
faktor eksternal, yakni Al-Qur’an (risalah)
e.
Kesimpulan
tentang pengertian Akhlaq
Dari
uraian pengertian tentang akhlaq jelas bahwa akhlaq memiliki kaitan erat
dengan hakikat eksistensi manusia. Manusia diciptakan dengan memiliki status,
tujuan, tugas dan tanggung jawab dari keberadaannya. Dan semua kehidupan didunia
ini pada dasarnya adalah dalam rangka melaksanakan status, tujuan, tugas dan
tanggungjawab hidup tersebut. Dalam
rangka menjalankan eksistensinya, manusia diberikan potensi jiwa berupa sam’a,
abshor, af’idah. Jiwa ini diciptakan dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah konsep
dasar penciptaan manusia.
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.” (Qs. An-Nahl :78)
“Maka hadapkan lah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. Ar-Rum:30)
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah, “kullu mauludin yuuladu ‘ala alfitrah” artinya setiap anak
dilahirkan dalam keadaan tauhid (mu’min). Tabi’at asli jiwa adalah fitrah
(tauhid). Sedangkan di dalam jiwa manusia terdapat dua kekuatan yang satu sama
lain saling bertarung dan berperang untuk menguasainya, yakni aqal dan hawa.
Pertarungan aqal dan hawa dalam jiwa inilah yang akan menentukan akhlaq
seseorang. Jika jiwa menjadi hamba dari hawa maka kecenderungan fitrahnya
menjadi tertutup, dan akhlaq yang lahir dari jiwa yang didominasi hawa (atau
fitrahnya tertutup) adalah akhlaq yang sesuai dengan dorongan-dorongan hawa
tersebut. Sebaliknya, jika jiwa dikuasai oleh aqal maka bentuk jiwa seseorang
akan baik, dan dari bentuk jiwa yang
baik ini akan melahirkan akhlaq yang baik.
Selain
dipengaruhi oleh faktor internal (aqal dan hawa), jiwa juga dipengaruhi oleh
faktor eksternal, berupa “abawahu” atau lingkungan tempat dimana ia hidup.
Faktor eksternal ini bisa menjadi pendukung atau sebaliknya menjadi penghambat
(penutup) pertumbuhan fitrah dalam jiwa. Interaksi antara jiwa (yang fitrah)
dengan faktor-faktor eksternal ini pada akhirnya akan membentuk dan melahirkan
cara pandang serta pada tingkah laku (akhlaq) seseorang.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa akhlaq adalah perwujudan seseorang dalam rangka
memenuhi dan mewujudkan eksistensi kemanusiaannya. Atau dengan kalimat lain,
pengertian akhlaq dapat dinyatakan sebagai : Perwujudan eksistensi manusia
yang diproses dari fitrahnya melalui integrasi dengan faktor internal dan
eksternal dirinya yang terefleksi dalam bentuk cara pandang (pola pikir) dan
tingkah laku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar